Penadigital.id - Judilherry Justam selaku Pemerhati pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan dokter menjelaskan alasan UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran perlu diperbaharui dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI.
“Kami prihatin dan resah dengan adanya UU Praktik Kedokteran sejak tahun 2013,” tuturnya.
Dijelaskan pula, setelah UU Praktik Kedokteran disahkan pada tahun 2004, telah ditemukan pemusatan kekuasaan dari hulu hingga hilir dunia kedokteran di Indonesia.
Judilherry pun mengungkapkan dampak dari disahkannya UU Praktik Kedokteran.
"Dampak pertama merupakan kekuatan monopolistik organisasi profesi pada sektor pelayanan medis. Dengan adanya UU tersebut, IDI sudah memberi peluang organisasi masyarakat agar melaksanakan abuse of power,” ujarnya.
Dampak kedua, yaitu terkait dengan adanya IDI di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Kehadiran IDI dapat memicu konflik kepentingan.
“IDI merupakan objek berdasarkan regulasi, jadi bagaimana mungkin ketuanya duduk di KKI selaku regulator,” imbuhnya.
Atas keresahan tersebut, beberapa pihak sudah melaporkan persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2017 dan menciptakan putusan akhir, yakni melarang pengurus IDI sebagai anggota KKI agar menghindari terjadinya konflik kepentingan.
Dampak ketiga, ketidakberdayaan pemerintah pada masalah dokter layanan primer (DLP). DLP tidak diterima oleh IDI lantaran tidak tertera pada UU Praktik Kedokteran.
Dengan ditolaknya penyediaan DLP, Yudilius menilai bahwa Indonesia sudah mengalami kesulitan guna memperkuat kualitas pelayanan kesehatan pada tingkat pertama.
“Keinginan dokter dalam belajar menjadi DLP terbelenggu dan seolah-olah lebih ‘takut’ oleh organisasi profesi dibandingkan dengan pemerintah.” pungkasnya.
(ADP)
0 comments