Sumber || Pixabay.com |
Oleh : Prima Mari Kristanto
Penadigital.id – Bung Hatta salah seorang pendiri bangsa menyebut
korupsi telah menjadi budaya di Indonesia. Bung Hatta bukan hendak
mempermalukan bangsanya, melainkan ingin menyentil keras perilaku korupsi
sebagian atau banyak oknum penyelenggara negara.
Bukan asal bicara, Bung Hatta sebagai saksi hidup
periode kolonial Belanda, fasisme Jepang, kemerdekaan, Orde Lama hingga Orde
Baru pasti punya dasar menyampaikan demikian. Hanya Orde Reformasi yang tidak
dia alami setelah wafatnya tahun 1982.
Benarkah korupsi telah menjadi budaya? Bukankah
budaya bangsa adalah kekeluargaan, kegotong-royongan, tenggang rasa dan
nilai-nilai luhur lain warisan dari leluhur?
Vonis Koruptor
Cuma 12 Tahun
Heboh vonis koruptor bantuan sosial yang “cuma” 12
tahun dinilai melukai nurani publik. Sebelumnya vonis seorang jaksa wanita yang
juga dinilai terlalu ringan atas keterlibatannya membantu urusan seorang
buronan koruptor.
Alasan vonis yang dinilai ringan pada terdakwa
korupsi bantuan sosial juga terkesan mengada-ngada, tersangka sudah cukup
menderita dihina publik. Apakah artinya publik yang dianggap salah karena
menghina terduga pelaku korupsi? Haruskah yang akan datang korupsi dipuja-puji
saja, jangan dirundung supaya pelakunya dihukum berat.
Pemberantasan korupsi semakin suram, belum lagi
adanya pelemahan KPK dengan pemberhentian beberapa penyidik potensial melalui
tes wawasan kebangsaan (TWK), oleh pimpinan KPK dianggap sebagai proses
kepegawaian yang wajar.
Beberapa lembaga negara antara lain Komnas HAM,
Ombudsman, aktivis antikorupsi mulai: ICW, Greenpeace termasuk Majelis Hukum
HAM PP Muhammadiyah telah memberi tekanan moral pada pimpinan KPK.
Tekanan-tekanan moral yang tidak membuat KPK bergeming dengan memberhentikan
penyidik-penyidik potensialnya.
Sungguh aneh bin ajaib setelah Presiden Soeharto
dan Gus Dur dahulu diturunkan dengan tuduhan korupsi tetapi korupsi lebih
merajalela setelah keduanya lama berpulang.
Ungkapan Bung Hatta sepertinya terbalik, yang
terjadi bukan budaya korupsi, tetapi korupsi budaya.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa antara lain
kekeluargaan, kegotong-royongan, tenggang rasa, hidup sederhana, malu berbuat
salah telah dikorupsi oleh budaya materialisme, hedonisme dan sejenisnya yang
dalam bahasa agama disebut “wahn” (cinta dunia yang berlebihan).
Dengan demikian korupsi adalah penyakit budaya dan
peradaban atau akhlak. Korupsi budaya asli Nusantara dan Indonesia oleh budaya
materialisme, hedonisme sejak hadirnya imperialiame dan kolonialisme.
Dalam sejarah imperialisme pernah terjadi kasus
korupsi terbesar di dunia yaitu bangkrutnya VOC di penghujung abad ke-18. VOC
yang asalnya singkatan dari Verenidge Oost-indiche Compagne selanjutnya dikenal dengan Vergaan Onder Coruptie, bangkrut karena korupsi. Tanpa sadar budaya hedonisme
akibat dari imperialisme dan kolonialisme sebagai penyebab tumbuhnya budaya
korupsi tidak mudah lenyap dari bumi nusantara.
Modifikasi dan variasi korupsi melahirkan cabang
kolusi, manipulasi, nepotisme, pungli, dan lain-lain. Ketika korupsi telah
menjadi budaya, pencegahan termasuk pengungkapannya menjadi semakin sulit.
Definisinya semakin rumit jika telah dianggap
budaya, korupsi bisa tidak disebut “korupsi—apa pun kata media, aktivis dan
tokoh agama—selama yang mulia majelis hakim menyatakan bukan korupsi selesai
perkara. Budaya korupsi lahir dari korupsi budaya, hilangnya akhlak karimah,
budaya malu demi kehidupan hedonisme, wahn, hidup tidak mau diatur-atur agama.
Agama harus hadir, Ketuhanan Yang Maha Esa saatnya
dijadikan panglima yang menjiwai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Urgensi mengembalikan budaya akhlakul karimah
warisan leluhur bangsa dari sekedar melestarikan budaya seni tari, wayang,
pakaian tradisional dan atribut-atribut luar lainnya. Wallahualam bishawab
Prima Mari Kristanto, Akuntan asal Surabaya
Sumber : pwmu.com
0 comments