BLANTERORBITv102

    Tantangan Peningkatan Kualitas Dosen Indonesia

    Jumat, 23 Februari 2024

    Mohammad Nur Rianto Al Arif 

    (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/ SekJen DPP Asosiasi Dosen Indonesia)
     

    Indonesia telah menetapkan visi untuk masuk dalam tataran negara maju pada tahun 2045. Namun fakta menunjukkan bahwa dalam dua decade terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tidak pernah jauh dari 5%. Apabila kondisi ini tetap berlangsung, maka mimpin Indonesia 2045 untuk menjadi negara maju akan sulit terwujud. Salah satu faktor yang memengaruhi ialah daya saing global sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

    Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan transformasi substantial terhadap Pembangunan SDM melalui penguasaan iptek dan penciptaan inovasi. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan SDM dalam Pendidikan tinggi. Kondisi kualitas dosen menjadi salah satu isu strategis dalam Pembangunan Pendidikan tinggi di Indonesia. Sumber daya manusia (SDM) dalam Pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi sejumlah kendala yang memengaruhi kualitas pengajaran, penelitian, dan tata kelola institusi pendidikan.

    Kendala Dosen Indonesia

    Kendala pertama ialah terkait dengan kualifikasi akademik dosen. Berdasarkan data pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 terdapat 316.912 orang dosen di Indonesia, namun hanya 18,44% yang berkualifikasi akademik doktor, itu pun sebagian besar tersebar di Perguruan Tinggi Negeri baik di bawah Kemendikbud-Ristek maupun Kemenag. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar dosen di Indonesia masih memiliki kualifikasi akademik magister. Dengan masih rendahnya jumlah dosen yang berkualifikasi doktor tentu akan menjadikan Indonesia sulit untuk memiliki daya saing global.

    Kendala kedua ialah kurangnya keterampilan yang diperlukan untuk memberikan Pendidikan yang berkualitas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pelatihan yang memadai. Selain itu, masih rendahnya minat dan motivasi para dosen untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilannya. Masih banyak dosen yang mengajar tetapi belum memiliki kemampuan mengajar yang baik. Hal ini menjadikan munculnya kebijakan Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) sebagai salah syarat untuk mengikuti Sertifikasi Dosen bagi dosen di bawah Kemendikbud-Ristek dan Program Penguatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) bagi dosen di bawah Kemenag.

    Kendala ketiga ialah berkenaan dengan rendahnya kesejahteraan dosen di perguruan tinggi Indonesia. Hal ini menjadikan sulit untuk mempertahankan dan menarik talenta terbaik. Kesejahteraan yang rendah juga dapat mengurangi motivasi dan produktivitas. Jika kita simulasikan, saat ini gaji seorang PNS dosen baru dengan kualifikasi akademik Magister yang setara dengan Golongan III-b ialah 2.903.600, kemudian jika ia diberikan tunjangan fungsional Asisten Ahli sebesar 375.000, maka take-home pay dosen pemula ialah sebesar 3.278.60. Jika kita rujuk besaran gaji UMR Jakarta tahun 2024 sebesar 5.067.381, maka dapat kita lihat bahwa gaji dosen masih lebih rendah dibandingkan dengan UMR. Selain itu, apabila kita merujuk pada negara tetangga Malaysia, rata-rata gaji guru dapat mencapai RM 5950 atau setara 20 juta, kemudian rata-rata gaji dosen non-profesor berkisar RM 7500 atau setara dengan 25 juta, dan rata-rata gaji professor sebesar RM 16000 atau setara dengan 53 juta.

    Kendala keempat ialah terkait dengan mobilitas tenaga pendidik untuk beralih profesi maupun bekerja di luar negeri. Kesejahteraan yang melandasi mobilitas tenaga pendidik untuk beralih profesi atau pindah ke jalur struktural. Alih ke jalur struktural ataupun profesi lainnya dapat dianggap lebih menjanjikan secara penghasilan dibandingkan dengan dosen. Talenta terbaik Indonesia yang kemudian memilih berkarir di luar negeri pun erat kaitannya dengan faktor gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, atau kesempatan pengembangan karir yang lebih menarik.

    Kendala kelima berkenaan dengan rendahnya minat riset dan publikasi ilmiah para dosen di sebagian besar perguruan tinggi. Salah satu yang mendasari rendahnya riset dan publikasi ilmiah, karena para dosen terfokus untuk mengajar demi mengejar penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan riset yang jumlah dananya tidak besar namun beban administrasi pertanggungjawaban yang seringkali lebih rumit. Selain itu, paradigma yang saat ini terbentuk di dalam pemikiran sebagian besar dosen ialah hanya terfokus pada tugas utama mengajar dan lupa untuk menyeimbangkan dengan dua dharma perguruan tinggi yang lain yaitu penelitian dan pengabdian masyarakat. Faktor lainnya yang menyebabkan kendala pada aspek riset dan publikasi ilmiah ini ialah keterbatasan dana, waktu yang terbatas, dan kurangnya akses terhadap fasilitas penelitian.

    Strategi Peningkatan Kualitas Dosen

    Strategi pertama yang dapat dilakukan untuk meningkatkan jumlah dosen dengan kualifikasi doktor ialah dengan menambah porsi beasiswa studi lanjut bagi para dosen baik untuk di dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, untuk menyiapkan SDM Pendidikan tinggi jangka panjang, program Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) di Kemendikbud-Ristek maupun Program Magister Lanjut Doktor (PMLD) di Kementerian Agama perlu dilanjutkan dengan penyempurnaan. Penyempurnaan pertama ialah terkait dengan kebutuhan SDM jangka panjang sesuai dengan pemetaan manajemen talenta. Kementerian harus merumuskan dalam jangka 5 tahun ke depan, kebutuhan SDM apa yang paling diperlukan oleh Indonesia. Selain itu, para lulusan program PMDSU dan PMLD, termasuk para lulusan dari program beasiswa LPDP dari jalur fresh graduate pun harus diberi tempat penempatan selepas mereka lulus dari program pendidikan tersebut.

    Strategi kedua ialah perguruan tinggi dan Kementerian memberikan alokasi dana yang memadai bagi para dosen untuk mengikuti pelatihan singkat maupun sabbatical-leave baik di perguruan tinggi luar negeri maupun dengan menunjuk beberapa perguruan tinggi unggulan untuk membina dosen-dosen dari perguruan tinggi lain terutama yang berasal dari wilayah 3T. Selain itu, dosen perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti sertifikasi kompetensi maupun sertifikasi profesi agar ilmu yang diajarkan dapat sesuai dengan kebutuhan industri. Selama ini keluhan dunia industri ialah tidak sinkronnya antara kebutuhan SDM industri dengan keilmuan yang diajarkan.

    Strategi ketiga ialah dengan menaikkan kesejahteraan para dosen. Tunjangan fungsional dosen yang hampir dua dekade tidak naik, perlu segera dinaikkan. Idealnya kenaikan tunjangan fungsional dosen berkisar 3 – 5 kali lipat dari jabatan fungsional tertinggi (Profesor menerima kenaikan dari 1.350.000 menjadi 4.050.000) sampai dengan jabatan fungsional terendah (Asisten Ahli menerima kenaikan dari 375.000 menjadi 1.875.000). Selain tunjangan fungsional dosen, tunjangan lainnya yaitu tunjangan profesi yang sebesar 1 gaji pokok, dan tunjangan kehormatan guru besar sebesar 2 kali gaji pokok perlu dinaikkan pula. Idealnya total penghasilan yang dapat diterima oleh seorang dosen pemula minimal 15 juta per bulan, dosen non-profesor yang sudah doktor minimal 20 juta per bulan, dan seorang profesor mendekati 40 juta per bulan.

    Strategi keempat ialah pemerintah harus menggandeng organisasi asosiasi profesi dalam meningkatkan kapasitas dosen. Keterbatasan anggaran dan tenaga yang dimiliki oleh pemerintah membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk asosiasi profesi. Saat ini telah banyak asosiasi profesi dosen yang berkembang baik yang bersifat umum seperti Asosiasi Dosen Indonesia atau yang lebih spesifik bidang ilmu seperti Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI).

    Beberapa strategi diatas diharapkan akan mampu mengakselerasi dalam peningkatan kualitas SDM Pendidikan tinggi di Indonesia. Peningkatan kualitas SDM yang akseleratif akan mampu mendorong pencapaian visi Indonesia 2045 yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Pemerintahan baru semoga dapat melakukan Langkah-langkah transformatif dan akseleratif, karena apabila hanya melakukan business as usual, visi Indonesia 2045 untuk menjadi negara maju akan sulit terwujud.