Penadigital.id - Hasto Kristiyanto, dosen di Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia, menegaskan bahwa pentingnya tata kelola kampus dan universitas di Indonesia sangat besar untuk memastikan kemajuan Indonesia dan memperkuat posisinya sebagai negara pemimpin di antara negara-negara lainnya.
Hasto menyampaikan pandangannya dalam sebuah pidato akademis pada perayaan Dies Natalis ke-71 Universitas Krisna Dwipayana (Unkris) di Jakarta pada hari Senin, 3 April. Dalam pidatonya, Hasto membahas tentang geopolitik Soekarno, yang merupakan hasil penelitian dari disertasi doktoralnya.
Menurut Hasto, Unkris memiliki peran penting sebagai salah satu pondasi penting dalam dunia akademik Indonesia. Terdapat catatan bahwa Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah memberikan pidato akademis di Unkris pada perayaan lima tahunan pertama universitas tersebut.
"Teori geopolitik Soekarno pada dasarnya berbicara tentang bagaimana membangun kepemimpinan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan, agar dapat menjadi aktor penting di dalam konstelasi geopolitik," kata Hasto.
Hasto melanjutkan bahwa teori geopolitik Soekarno tentang kepemimpinan Indonesia di dunia sangat berbeda dengan teori geopolitik Barat. Teori Barat berfokus pada perluasan wilayah yang seringkali dilakukan melalui upaya penaklukan, sementara geopolitik Indonesia berfokus pada upaya membangun kekuatan nasional untuk memastikan perdamaian dunia dan kemerdekaan setiap bangsa dan negara.
Hasto menjelaskan bahwa menurut teori geopolitik Soekarno, sebuah negara hanya dapat menjadi kuat apabila memiliki kekuatan dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset. Untuk mencapai tujuan tersebut, lembaga pendidikan harus dikelola dengan baik dan terintegrasi dengan strategi pembangunan yang tepat.
“Pemikiran geopolitik Soekarno memerlukan syarat utama, penataan kampus yang terintegrasi dengan koridor strategis pembangunan atas cara pandang geopolitik,” urai Hasto.
“Jadi Unkris misalnya, memiliki kekuatan dalam hukum dan ekonomi. Maka bagaimana membangun kekuatan nasional Indonesia berdasarkan dua aspek ini, sehingga komoditas strategis seperti CPO, karet, kopi dan lain-lain, benar-benar menjadi national power karena ditopang oleh para ahli hukum internasional yang dihasilkan Unkris,” kata Hasto.
Hasto menambahkan bahwa kampus harus menjadi pusat utama untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mempromosikan inovasi riset terapan.
“Agar Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri, setidaknya dalam bidang pangan, energi, keuangan dan lain-lain,” tegas Hasto.
Hasto menginginkan agar institusi pendidikan dan kampus di Indonesia terlibat aktif dalam mewujudkan kemerdekaan dan mandiri sebagai sebuah bangsa. Sebagai contoh, ketergantungan Indonesia pada impor daging, kedelai, gandum, jagung, dan gula harus segera diatasi.
“Australia misalnya, dalam perspektif pertahanan menempatkan Indonesia sebagai ancaman dari Utara, namun setiap tahun, Indonesia mengimpor sapi dan daging sapi sebesar Rp. 37 Triliun. Ini kan ironis. Karena itulah harus dibangun kerjasama antar kedua negara bertetangga agar keduanya mendapat manfaat secara berkeadilan”, ujarnya
Hasto bahkan memberikan beberapa buku termasuk buku Mustika Rasa, yang dibuat pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Menurut Hasto, buku tersebut merupakan salah satu contoh upaya Indonesia dalam membangun dominasi di bidang pangan.
“Ini kami persembahkan untuk Perpustakaan Unkris,” ujar Hasto.
Menurut Ketua Pembina Yayasan Unkris, Gayus Lumbuun, kehadiran Hasto untuk membahas topik geopolitik sangatlah penting. Secara prinsip, menurut Gayus, geopolitik melibatkan tiga hal yaitu bagaimana mempelajari kehidupan individu, bagaimana masyarakat berinteraksi, dan bagaimana ilmu pemerintahan dapat diaplikasikan.
“Kita motivasi semua organ universitas agar mengenal bangsa kita baik secara individu, sosial, maupun pemerintahannya,” ujar Gayus.
Susetya Herawati, Ketua panitia Dies Natalis, menjelaskan bahwa tema perayaan tersebut adalah "harmoni dalam keberagaman". Tema ini dimaksudkan untuk memperkuat semangat agar seluruh masyarakat Indonesia dapat benar-benar memahami dan menerapkan "harmoni dalam keberagaman", yang juga menjadi amanat dalam dasar negara, Pancasila.
“Dies Natalies ini mengingatkan kita bahwa keragaman adalah sumber kekuatan yang perlu diperkuat untuk mencapai kejayaan. Saat berefleksi dan kita bertama apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkannya,” kata Susetya.
Acara tersebut dihadiri oleh staf dan mahasiswa Unkris yang hadir secara fisik maupun daring, dan dipimpin oleh Rektor Unkris Ayub Muktiono.
Sebelum diadakan kuliah umum, juga dilakukan penandatanganan prasasti pendiri Universitas Krisna Dwipayana.
(Umar Syaid/adp)
0 comments