BLANTERORBITv102

    Urgensi Kaderisasi Ulama Muhammadiyah

    Jumat, 21 Januari 2022
    Oleh: Dr.Ahmad Fihri, MA (Dosen FEB Uhamka)
    Statemen Greg Barton, Indonesianis dari Monash University, yang menyebutkan bahwa “Muhammadiyah impor ulama dari Arab” berseberangan dengan fakta-fakta historis semisal banyaknya sekolah Muhammadiyah yang sudah berjalan di masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan. Ditambah lagi, hasil penelitian James L Peacock tentang Muhammadiyah pada tahun 1970-an yang menyebutkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang unggul. Menurut antropolog University of Nort Carolina ini, Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi keagamaan yang unggul karena ia merupakan organisasi pemimpin. Proses regenerasi di Muhammadiyah berjalan sangat baik. Kehadiran lembaga-lembaga perkaderan dan pendidikan di Muhammadiyah mampu melahirkan para kader dan pemimpin Islam. Dengan fakta historis dan ilmiah ini, nampaknya Greg Barton terlalu gegabah dengan mengajukan statemen tersebut.
    Namun, wacana tentang minimnya kader ulama dikalangan internal Muhammadiyah senyatanya ada. Almarhum Prof. Yunahar Ilyas mengatakan, "sebenarnya krisis ulama di Muhammadiyah sudah mulai dirasakan sejak Muktamar Muhammadiyah di Surakarta tahun 1985. Hal ini menjadi keprihatinan pemikiran di kalangan tokoh-tokoh Muhammadiyah". Artinya, dalam rentang 3 dekade belakangan ini, keluarga besar persyarikatan berkonsentrasi penuh dalam upaya mencari jalan keluar atas persoalan ini.
    Jika frasa “impor ulama” Greg Barton ini dianggap sebagai enkripsi dari wacana krisis ulama di Muhammadiyah, maka perlu memahami basis-pikir wacana kelangkaan tersebut secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, jumlah ulama dan muballigh yang dicetak oleh Muhammadiyah tidak sebanding jangkauan dakwah Muhammadiyah di seluruh Indonesia (3.730 cabang dan 14.511 ranting). Keterbatasan ini dapat mengakibatkan keterhambatan misi gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi salah satu tipologi gerakan Muhammadiyah. Sedangkan secara kualitatif, kader yang banyak dihasilkan oleh Muhammadiyah adalah kader yang lebih mudah diidentifikasi sebagai intelektual dibanding sebagai ulama. Mereka lebih memiliki kedalaman ilmu dan pengetahuan dibidang umum dibanding kedalam ilmu dan pengetahuan dibidang keagamaan. Hal ini mungkin disebabkan selama ini Muhammadiyah terlalu berfokus pada sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang lebih berorientasi pada disiplin keilmuan umum daripada disiplin keilmuan keagamaan.
    Paling tidak ada dua momen kritis yang layak dicermati dalam rentangan wacana tersebut. Pertama, karakteristik metodologis pendidikan yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan meletakkan kualifikasi ilmu dan akhlaq sebagai parameter yang sama tingginya dalam kompetensi ulama Muhammadiyah. Kedua parameter ini harus dibangun sesuai dan berdasarkan spirit kepekaan sosial yang cukup tinggi. Sesuai dengan visi pendidikan dan pergerakan pembaharuan KH. Ahmad Dahlan yang terlihat dalam gambaran kisah populer pengajaran Surat al-Ma’un secara terus mnerus itu. Tak ayal jika visi pendidikan KH. Ahmad Dahlan adalah proses integrasi 3 aspek yaitu qaul bil lisan (kognitif), tashdiq bil qalb (afektif) dan ‘amal bil jawarih (psikomotor).
    Visi KH. Ahmad Dahlan tersebut merupakan respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan kala itu. Menurut catatan Munir Mulkan, Muhammadiyah pada masa KH. Ahmad Dahlan berhadapan dengan 3 front yaitu Modernisme, Tradisionalisme dan Jawaisme. Meminjam tesis Arnold J. Toynbee, sejarawan berkebangsaan Inggris yang begitu optimis dengan peran Islam dalam mengawal masa depan peradaban, bahwa perkembangan pada dasarnya adalah “process of challenge and response”, dan keberhasilan suatu peradaban berkaitan erat dengan bagaimana manusia pendukungnya menjawab tantangan, baik yang bersumber dari alam maupun dari manusia. Pada aras ini, Muhammadiyah telah berhasil menjalankan fungsi dari proses konstan tantangan dan respon dalam menjelaskan eksistensi di awal kesejarahannya.
    Momen kedua, pemodelan kaderisasi ulama Muhammadiyah. Tidak bisa diingkari jika secara historis Muhammadiyah berkontribusi besar dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia melalui lembaga pendidikan formal. Dalam rentang 109 tahun kesejarahannya, telah berdiri banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah. Menurut catatan Majelis Dikdasmen PP. Muhammadiyah terdapat 3334 lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan jenjang SD sampai SMA/SMK. Ditambah lagi catatan Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah menyebutkan bahwa hingga tahun 2020 terdapat 162 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) yang terdiri dari 60 universitas, 82 sekolah tinggi, 6 akademi, 9 institut dan 5 politeknik. Tahun lalu, tepatnya 5 Agustus 2021, PP Muhammadiyah memperoleh izin resmi pendirian Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM) dari Pemerintah Malaysia yang menandakan tonggak baru pendirian perguruan tinggi pertama Indonesia di Luar Negeri.
    Lantas, apakah eksistensi perguruan tinggi Muhammadiyah berbanding lurus dengan ekspektasi kebutuhan ulama di Muhammadiyah? Nampaknya, jawabannya akan ditagihkan ke Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) di seluruh Indonesia yang secara eksponensial berkonsentrasi pada upaya reproduksi dan kaderisasi ulama di lingkungan persyarikatan. Dan, apakah eksistensi PUTM selama ini mampu mereaksi tantangan kelangkaan ulama secara efektif? Tentu saja jawabannya akan datang setelah supervisi terhadap Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) dilakukan, baik terkait output, outcome hingga legalitas keahlian/keulamaannya.
    Bagaimanapun, ketersedian ulama yang mumpuni di lingkungan Muhammadiyah menjadi kebutuhan yang signifikan. Setidaknya, menurut Prof. Dr. H. Samsul Anwar, MA, setiap cabang memiliki 1 kader ulama Muhammadiyah. Tentu saja tak seorangpun berani menjamin bahwa ini merupakan kebijakan yang mudah, karena kesulitan memang salah satu sifat niscaya dari kebenaran. Jika tidak demikian, maka harga proses konstan di jalan menuju kebenaran dan harga ketahanan moral dalam penyampaian kebenaran menjadi nol besar (sekaligus membenarkan asumsi Barton bahwa Muhammadiyah impor ulama dari Arab).