![]() |
Sumber : Pixabay.com |
Oleh : Silma Wafia
Penadigital.id - Kehidupan
sangat lah singkat, banyak remaja sekarang kurang memanfaatkan waktu
mudanya dengan baik. Terkadang aku juga merasa belum memanfaatkan waktu luang
dengan benar, Sejak kecil aku dilatih untuk mandiri oleh orang tuaku. Namun,
lain halnya dengan adikku berbanding terbalik denganku. Sewaktu kecil dia
dimanja, aku menyadari karena aku sebagai kakak harus mengalah. Tapi terkadang
aku sedih sejak kecil ibuku kerja di negeri orang, atau sering disebut TKW
(tenaga kerja wanita). Aku menyadari semua Allah berikan padaku adalah takdir,
lewat itulah ibuku bisa menyekolahkan aku dan adikku.
Orang-orang sering bertanya “kenapa ibumu
masih di sana? padahal kamu sudah besar,” aku hanya senyum walaupun rasanya
sedih. Semenjak bapakku meninggalkan keluarga, ibulah yang membiayaiku. Beliau
tidak lagi kerja di sana namun ibu membiayaiku lewat berjualan lauk di rumah.
Aku belajar dari kehidupanku bahwa semua adalah titipan Allah dan semua yang
kita miliki atas kekuasaan-Nya.
Mranggen, 26 april 2019
Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata aku sendiri di kelas, entah kenapa aku
rindu keluarga. Tiba-tiba ada yang datang menghampiriku. “Sya tumben kamu nggak
beli jajan” ucap Laila, teman sebangkuku. “emm.. nggak apa-apa La”.
Jawabku dengan senyuman. “Besok kalau wisuda sama aku ya”. Sambil menawarkan
jajan kepadaku. “siap la, entar sewaktu di acara bareng ya kita ajak dinar,
atul sama Fatimah”, dengan santainya aku mencomot jajan Laila.
“pengumuman gaes ada briefing
di musala katanya suruh kumpul semua kelas 12”. Salah satu temanku menginfokan update
untuk kelas 12.
“Anak-anak semua kumpul di musala sekarang berkenaan satu minggu mendatang
acara wisuda”. Pak andika mengumumkan melalui pengeras suara. Setelah dua jam
brifing aku langsung menelepon ibuku di warung Bu Aminah. Aku membicarakan
dengan beliau diadakannya wisuda di Masjid Agung Jawa Tengah. “Sya hari minggu
ibu jemput kamu ke pondok ya, jangan lupa barang-barang disiapkan”. Begitulah
kebiasaan seorang ibu mengingatkan anaknya. “Duh jadi nggak sabar pulang
ke rumah”. Celetukku, Selesai menelepon aku melanjutkan aktivitasku seperti
biasa. Karena aku masih mengenyam pendidikan di Pesantren setiap pulang sekolah
aku langsung ikut kegiatan mengaji.
04.26 WIB
Aku terbangun karena sudah subuh, kumandang azan membangunkanku untuk bergegas
mengambil air wudu. Hal yang sangat unik di pondok waktu subuh, mengantuk
ketika salat subuh termasuk aku juga pernah ketahuan mengantuk di depan Pak Kyai.
Rasanya malu sekali ketika teringat itu.
Selesai salat berjamaah aku ditanya oleh
Nadia, teman sekamarku. “Mbak Syaqila hari ini pulang ya?” Ucap Nadia
menyenggol lenganku dengan pena. “Iya Nad, kan sebentar lagi acara wisuda gue lah,”
Aku menjawab sambil menulis catatan ngaji. “nggak terasa ya mbak
bentar lagi sudah mau lulus hehehe,” kata Sinta teman seperjuangan tapi beda
angkatan. “emm.. selesai ngaji kemas-kemas yuk, kan hari ini jadwal
pulang kelas 12,” Kataku. “kawan-kawan Abah Helmi sudah datang,” Kata temanku
yang duduk paling depan. Setelah kegiatan jamaah langsung ngaji kitab
dengan abah Kyai yaitu kitab yang beliau terangkan tafsir Al-ibris karya K.H.
Bisri musthofa-rembang.
Seperti itulah kegiatanku di pondok,
memang banyak cobaan yang aku alami di sini, tapi aku percaya lewat berkhidmah
dengan pak Kyai pasti ada berkahnya. Terkadang sebagian orang ada yang percaya
ada yang tidak, aku sejak kecil sudah terbiasa jauh dengan orang tua. Namun,
aku tidak berkecil hati Allah memberi aku hidayah lewat pondok pesantren. Ya
aku mencari sebuah kehidupan yang nyata, di sinilah aku mendapat sebuah arti
tentang agama. Aku bersyukur seperti memiliki keluarga kedua di pondok
bagaimana tidak, semua kehidupan dunia pesantren memang penuh kenangan, Di sini
aku diajarkan cara memiliki sikap istiqamah, sabar, dll.
“Nduk, bangun sudah jam empat ayo salat
subuh, alarmmu itu bunyi terus”. Kata ibuku yang sedang membuka jendela
kamarku. “Hah nduk? Loh aku ternyata sudah pulang rumah?”. Aku bertanya dengan
diriku sendiri di dalam hati, “kamu ini sudah besar masih saja dibangunkan ibu, di pondok jangan seperti ini Sya,” Aku
menjawab sambil membereskan tempat tidur. “Bu jangan samakan dengan di pondok,
ini kan di rumah, ada diskon bangunnya” “besok acara wisuda ibu kayanya nggak
bisa ikut Sya, ibu kan sekarang jualan” Kata beliau. Tapi aku tidak menjawab
langsung ke kamar mandi. “pagi-pagi sudah bahas hal seperti itu, mana aku nyambung,
baru bangun” gerutuku. Selesai salat subuh aku tetap mengaji walaupun di rumah,
sudah hal terbiasa santri ketika selesai salat murojaah hafalannya.
“Syaqila, ada telepon dari kawanmu Nduk”.
kata ibuku yang sedang masak air, “iya Bu, sebentar”. Aku langsung bergegas mencari
teleponnya. “halo assalamualaikum”. Kataku, “Wa’alaikumsalam, Sya jangan lupa
hari Sabtu berangkat wisuda sebelum jam tujuh ya”. Kata Laela, “Insyaallah La,
aku on time tapi kan tergantung kondisi jalan rayanya kalau ramai
mungkin agak telat”. Kataku, “iya juga ya rumahmu kan Kendal, ya semoga saja
lancar dan on time”. “Aamiin… Terima kasih doanya la, semoga kamu
juga lancar”. Tutttt..
“Yah, putus lagi sambungannya, belum juga salam”.
Aku langsung membatu ibuku yang sedang
memasak untuk dijual. “Bu, besok acara wisuda sebelum jam tujuh”. aku sambil
menggoreng mendoan. “nanti disiapin seragamnya biar besok tinggal pakai”.
Kata ibuku dengan nada lembut. “Bu bukan itu yang aku tanyakan, masalahnya yang
mengantar ke sana siapa?”. “besok kamu di antar sama Mas Raffi ya, nanti ibu
yang bilang”. Ibu sibuk dengan masakannya. “Ibu ada yang beli itu”.
Aku sedang menikmati suasana sore di
perkampunganku, aku berjalan menuju jalan raya. Di mana aku melewati sepanjang
jalan kenangan selama tiga tahun, jalan yang penuh tantangan teringat waktu
sekolah SMP, ya memang pahit waktu pelepasan kelas Sembilan. Entah kenapa aku
takut kejadian hal yang sama, orang tuaku tidak bisa hadir di wisuda kemarin.
Namun tak jadi kendala aku tetap berangkat ke wisuda, meskipun tidak ada yang
hadir.
Hal yang sangat membuatku kurang semangat,
semenjak ayahku meninggalkan keluarga ibuku mengajariku semangat untuk
menjalani kehidupan. Aku teringat pesan ibuku sewaktu awal kelas 12, “Sya,
walaupun sekarang bapakmu tidak di sampingmu jangan sedih semua terjadi atas
kehendak Allah tugasmu sebagai anak berbakti kepada orang tua caranya
bagaimana? Lewat doa lah yang bisa menguatkanmu Nduk”.
“Sya… halo dari tadi loh aku panggil
kamu, ada apa si?”. Kata Syifa, dia adalah saudara dari ibu yang sering main
bareng dari kecil. “nggak apa-apa Syif aku Cuma terpikir nasihat ibu saja”.
Aku menghentikan sepedaku karena sudah sampai rumah. “oalah ya sudah tak kira
kesambet apa”. Syifa sambil cengengesan. “Sya baju buat besok udah disiapkan?”.
Kata ibu menanyakan ku dari arah jemuran. “iya bu habis ini, aku siapkan”. “Bulek
aku pamit pulang ya takut ibu cari”. “Fa, cepat sekali kesininya nggak
mau makan-makan dulu”. “nggak usah bulek terima kasih”. Ibu memang
mempunyai sifat yang ramah terhadap orang lain apalagi saudaranya sendiri, aku
salut dengan beliau.
Hari ini adalah hari wisudaku di mana
sebuah perjuangan selama tiga tahun aku di bangku Aliyah. Sesingkat ini putih
abu-abuku sangat tidak terasa bagiku, Aku sudah siap dengan baju seragam
wisuda.
“ibu berarti nggak ikut aku
diacara wisudaku”. Kataku dengan nada kecewa. “maafkan ibu Sya, kamu kan tahu
ibu lagi jualan kalau ibu nggak jualan biaya sekolah untuk adikmu
bagaimana?”. “Bu, ini sekali dalam seumur hidup, apa seenggaknya ibu mengerti
Syaqila sedikit saja”. Wajahku semakin menunduk terasa berat aku berangkat
tanpa didampingi orang tua, padahal ini hari yang sangat berarti bagiku.
Tiba-tiba suara motor dari depan, “nah
itu kamu diantar sama mas sepupu ya”. Kata ibuku sambil mengambilkan lauk untuk
pembeli. “Mas Raffi yang antar?”. “ayo Sya berangkat katanya sebelum jam
tujuh”. Kata Mas Raffi yang sudah siap dimotornya.
Di perjalanan tak hentinya aku bersalawat,
entah kenapa aku merasa kecewa dengan keputusan ibuku. Semenjak SD, MTS, sampai
jenjang ini tanpa damping orang tua sedih pasti ada namun bagaimana lagi sudah
menjadi takdirku, ketika sudah sampai lokasi tepatnya di Masjid Agung Jawa
Tengah. Perasaanku bercampur aduk, aku mengikuti acara tersebut dengan khidmah,
semua berjalan dengan lancar. Ketika namaku dipanggil aku menumpahkan air
mataku benar-benar sudah berakhir masa Aliyahku, Aku menyalami semua guru-guru
beliau selalu memberiku doa dan semangat.
“Alhamdulillah Mas Raffi aku lulus”. Aku
langsung menghampiri Mas Raffi yang sedang memvideokanku waktu ke atas
panggung.
“Sya setelah ini kan kamu nggak pulang langsung ke pondok, aku mau kasih
kamu sesuatu”. Sambil memberikan bingkisan dan surat. “dari siapa mas?”. Kataku
sambil mengambil dari Mas Raffi. “bukanya nanti ya”.
Untuk anakku tercinta,
Nduk, tak terasa kamu sudah besar. Ibu hanya bisa mendoakanmu selalu
menyemangatimu setiap waktu, namun kamu harus mengerti dari keadaan di keluarga
kita Allah selalu menguatkanmu dan juga menjagamu. Ibu ikhlas kalau kamu
mengambil pilihan setelah lulus untuk mengabdi di pondok, dua bulan lagi ibu
akan bekerja lagi di luar negeri. Tugasmu hanya mendoakan ibu, belajar. Selagi
ibu mampu membiayaimu sampai jenjang yang lebih tinggi, kamu jangan seperti
ibu, kamu harus melebihi ibu. Carilah ilmu sampai akhir hayatmu. Allah akan
memberi jalan orang yang mencari ilmu agama, pesan ibu walaupun kamu tidak
didampingi orang tuamu tetaplah tabah dan ikhlas. Kamu bisa berkhidmah untuk Kyaimu
lewat gurulah kamu tanamkan rasa khidmahmu, semoga Syaqila menjadi anak sholehah,
manfaat buat orang lain, nggak boleh sedih terus semangat!!!
Aku benar-benar kaget ternyata ibu punya
tujuan yang lain, terima kasih ibu selama ini kau selalu membimbingku, selama
ini aku berprasangka denganmu. Aku sangat jahat menilai orang tuaku sendiri
dengan sifat-sifat yang kotor. Aku janji aku akan berusaha semampuku untuk
berkhidmah di pondok, kau bagaikan mutiaraku akan tetap bercahaya di
kehidupanku.
Dan aku teringat sebuah hadis tentang
pentingnya berbuat baik tiga kali lebih besar kepada ibu dibanding bapak.
“Seseorang datang kepada Rasulullah SAW, dan berkata, “wahai Rasulullah, kepada
siapakah aku berbakti pertama kali?. Nabi SAW menjawab, ‘ibumu. Dan orang
tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?, nabi menjawab ‘ibumu. Orang
tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?. Nabi menjawab ‘ibumu’. Orang
tersebut bertanya lagi. ’kemudian siapa lagi’. Nabi menjawab ‘kemudian ayahmu”.
END
Silma Wafia adalah Mahasiswi Asal Kendal
Sumber : cerpenmu.com
dengan beberapa moderasi
0 comments