BLANTERORBITv102

    Malaikat Tidak Bersayap

    Sabtu, 04 September 2021

     

    Sumber : Pixabay.com

    Oleh : Silma Wafia

    Penadigital.id - Kehidupan sangat lah singkat, banyak remaja sekarang kurang memanfaatkan waktu mudanya dengan baik. Terkadang aku juga merasa belum memanfaatkan waktu luang dengan benar, Sejak kecil aku dilatih untuk mandiri oleh orang tuaku. Namun, lain halnya dengan adikku berbanding terbalik denganku. Sewaktu kecil dia dimanja, aku menyadari karena aku sebagai kakak harus mengalah. Tapi terkadang aku sedih sejak kecil ibuku kerja di negeri orang, atau sering disebut TKW (tenaga kerja wanita). Aku menyadari semua Allah berikan padaku adalah takdir, lewat itulah ibuku bisa menyekolahkan aku dan adikku.

    Orang-orang sering bertanya “kenapa ibumu masih di sana? padahal kamu sudah besar,” aku hanya senyum walaupun rasanya sedih. Semenjak bapakku meninggalkan keluarga, ibulah yang membiayaiku. Beliau tidak lagi kerja di sana namun ibu membiayaiku lewat berjualan lauk di rumah. Aku belajar dari kehidupanku bahwa semua adalah titipan Allah dan semua yang kita miliki atas kekuasaan-Nya.

    Mranggen, 26 april 2019
    Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata aku sendiri di kelas, entah kenapa aku rindu keluarga. Tiba-tiba ada yang datang menghampiriku. “Sya tumben kamu nggak beli jajan” ucap Laila, teman sebangkuku. “emm.. nggak apa-apa La”. Jawabku dengan senyuman. “Besok kalau wisuda sama aku ya”. Sambil menawarkan jajan kepadaku. “siap la, entar sewaktu di acara bareng ya kita ajak dinar, atul sama Fatimah”, dengan santainya aku mencomot jajan Laila.

    “pengumuman gaes ada briefing di musala katanya suruh kumpul semua kelas 12”. Salah satu temanku menginfokan update untuk kelas 12.
    “Anak-anak semua kumpul di musala sekarang berkenaan satu minggu mendatang acara wisuda”. Pak andika mengumumkan melalui pengeras suara. Setelah dua jam brifing aku langsung menelepon ibuku di warung Bu Aminah. Aku membicarakan dengan beliau diadakannya wisuda di Masjid Agung Jawa Tengah. “Sya hari minggu ibu jemput kamu ke pondok ya, jangan lupa barang-barang disiapkan”. Begitulah kebiasaan seorang ibu mengingatkan anaknya. “Duh jadi nggak sabar pulang ke rumah”. Celetukku, Selesai menelepon aku melanjutkan aktivitasku seperti biasa. Karena aku masih mengenyam pendidikan di Pesantren setiap pulang sekolah aku langsung ikut kegiatan mengaji.

    04.26 WIB
    Aku terbangun karena sudah subuh, kumandang azan membangunkanku untuk bergegas mengambil air wudu. Hal yang sangat unik di pondok waktu subuh, mengantuk ketika salat subuh termasuk aku juga pernah ketahuan mengantuk di depan Pak Kyai. Rasanya malu sekali ketika teringat itu.

    Selesai salat berjamaah aku ditanya oleh Nadia, teman sekamarku. “Mbak Syaqila hari ini pulang ya?” Ucap Nadia menyenggol lenganku dengan pena. “Iya Nad, kan sebentar lagi acara wisuda gue lah,” Aku menjawab sambil menulis catatan ngaji. “nggak terasa ya mbak bentar lagi sudah mau lulus hehehe,” kata Sinta teman seperjuangan tapi beda angkatan. “emm.. selesai ngaji kemas-kemas yuk, kan hari ini jadwal pulang kelas 12,” Kataku. “kawan-kawan Abah Helmi sudah datang,” Kata temanku yang duduk paling depan. Setelah kegiatan jamaah langsung ngaji kitab dengan abah Kyai yaitu kitab yang beliau terangkan tafsir Al-ibris karya K.H. Bisri musthofa-rembang.

    Seperti itulah kegiatanku di pondok, memang banyak cobaan yang aku alami di sini, tapi aku percaya lewat berkhidmah dengan pak Kyai pasti ada berkahnya. Terkadang sebagian orang ada yang percaya ada yang tidak, aku sejak kecil sudah terbiasa jauh dengan orang tua. Namun, aku tidak berkecil hati Allah memberi aku hidayah lewat pondok pesantren. Ya aku mencari sebuah kehidupan yang nyata, di sinilah aku mendapat sebuah arti tentang agama. Aku bersyukur seperti memiliki keluarga kedua di pondok bagaimana tidak, semua kehidupan dunia pesantren memang penuh kenangan, Di sini aku diajarkan cara memiliki sikap istiqamah, sabar, dll.

    “Nduk, bangun sudah jam empat ayo salat subuh, alarmmu itu bunyi terus”. Kata ibuku yang sedang membuka jendela kamarku. “Hah nduk? Loh aku ternyata sudah pulang rumah?”. Aku bertanya dengan diriku sendiri di dalam hati, “kamu ini sudah besar masih saja dibangunkan  ibu, di pondok jangan seperti ini Sya,” Aku menjawab sambil membereskan tempat tidur. “Bu jangan samakan dengan di pondok, ini kan di rumah, ada diskon bangunnya” “besok acara wisuda ibu kayanya nggak bisa ikut Sya, ibu kan sekarang jualan” Kata beliau. Tapi aku tidak menjawab langsung ke kamar mandi. “pagi-pagi sudah bahas hal seperti itu, mana aku nyambung, baru bangun” gerutuku. Selesai salat subuh aku tetap mengaji walaupun di rumah, sudah hal terbiasa santri ketika selesai salat murojaah hafalannya.

    “Syaqila, ada telepon dari kawanmu Nduk”. kata ibuku yang sedang masak air, “iya Bu,  sebentar”. Aku langsung bergegas mencari teleponnya. “halo assalamualaikum”. Kataku, “Wa’alaikumsalam, Sya jangan lupa hari Sabtu berangkat wisuda sebelum jam tujuh ya”. Kata Laela, “Insyaallah La, aku on time tapi kan tergantung kondisi jalan rayanya kalau ramai mungkin agak telat”. Kataku, “iya juga ya rumahmu kan Kendal, ya semoga saja lancar dan on time”. “Aamiin… Terima kasih doanya la, semoga kamu juga lancar”. Tutttt..
    “Yah, putus lagi sambungannya, belum juga salam”.

    Aku langsung membatu ibuku yang sedang memasak untuk dijual. “Bu, besok acara wisuda sebelum jam tujuh”. aku sambil menggoreng mendoan. “nanti disiapin seragamnya biar besok tinggal pakai”. Kata ibuku dengan nada lembut. “Bu bukan itu yang aku tanyakan, masalahnya yang mengantar ke sana siapa?”. “besok kamu di antar sama Mas Raffi ya, nanti ibu yang bilang”. Ibu sibuk dengan masakannya. “Ibu ada yang beli itu”.

    Aku sedang menikmati suasana sore di perkampunganku, aku berjalan menuju jalan raya. Di mana aku melewati sepanjang jalan kenangan selama tiga tahun, jalan yang penuh tantangan teringat waktu sekolah SMP, ya memang pahit waktu pelepasan kelas Sembilan. Entah kenapa aku takut kejadian hal yang sama, orang tuaku tidak bisa hadir di wisuda kemarin. Namun tak jadi kendala aku tetap berangkat ke wisuda, meskipun tidak ada yang hadir.

    Hal yang sangat membuatku kurang semangat, semenjak ayahku meninggalkan keluarga ibuku mengajariku semangat untuk menjalani kehidupan. Aku teringat pesan ibuku sewaktu awal kelas 12, “Sya, walaupun sekarang bapakmu tidak di sampingmu jangan sedih semua terjadi atas kehendak Allah tugasmu sebagai anak berbakti kepada orang tua caranya bagaimana? Lewat doa lah yang bisa menguatkanmu Nduk”.

    “Sya… halo dari tadi loh aku panggil kamu, ada apa si?”. Kata Syifa, dia adalah saudara dari ibu yang sering main bareng dari kecil. “nggak apa-apa Syif aku Cuma terpikir nasihat ibu saja”. Aku menghentikan sepedaku karena sudah sampai rumah. “oalah ya sudah tak kira kesambet apa”. Syifa sambil cengengesan. “Sya baju buat besok udah disiapkan?”. Kata ibu menanyakan ku dari arah jemuran. “iya bu habis ini, aku siapkan”. “Bulek aku pamit pulang ya takut ibu cari”. “Fa, cepat sekali kesininya nggak mau makan-makan dulu”. “nggak usah bulek terima kasih”. Ibu memang mempunyai sifat yang ramah terhadap orang lain apalagi saudaranya sendiri, aku salut dengan beliau.

    Hari ini adalah hari wisudaku di mana sebuah perjuangan selama tiga tahun aku di bangku Aliyah. Sesingkat ini putih abu-abuku sangat tidak terasa bagiku, Aku sudah siap dengan baju seragam wisuda.

    “ibu berarti nggak ikut aku diacara wisudaku”. Kataku dengan nada kecewa. “maafkan ibu Sya, kamu kan tahu ibu lagi jualan kalau ibu nggak jualan biaya sekolah untuk adikmu bagaimana?”. “Bu, ini sekali dalam seumur hidup, apa seenggaknya ibu mengerti Syaqila sedikit saja”. Wajahku semakin menunduk terasa berat aku berangkat tanpa didampingi orang tua, padahal ini hari yang sangat berarti bagiku.

    Tiba-tiba suara motor dari depan, “nah itu kamu diantar sama mas sepupu ya”. Kata ibuku sambil mengambilkan lauk untuk pembeli. “Mas Raffi yang antar?”. “ayo Sya berangkat katanya sebelum jam tujuh”. Kata Mas Raffi yang sudah siap dimotornya.

    Di perjalanan tak hentinya aku bersalawat, entah kenapa aku merasa kecewa dengan keputusan ibuku. Semenjak SD, MTS, sampai jenjang ini tanpa damping orang tua sedih pasti ada namun bagaimana lagi sudah menjadi takdirku, ketika sudah sampai lokasi tepatnya di Masjid Agung Jawa Tengah. Perasaanku bercampur aduk, aku mengikuti acara tersebut dengan khidmah, semua berjalan dengan lancar. Ketika namaku dipanggil aku menumpahkan air mataku benar-benar sudah berakhir masa Aliyahku, Aku menyalami semua guru-guru beliau selalu memberiku doa dan semangat.

    “Alhamdulillah Mas Raffi aku lulus”. Aku langsung menghampiri Mas Raffi yang sedang memvideokanku waktu ke atas panggung.
    “Sya setelah ini kan kamu nggak pulang langsung ke pondok, aku mau kasih kamu sesuatu”. Sambil memberikan bingkisan dan surat. “dari siapa mas?”. Kataku sambil mengambil dari Mas Raffi. “bukanya nanti ya”.

    Untuk anakku tercinta,
    Nduk, tak terasa kamu sudah besar. Ibu hanya bisa mendoakanmu selalu menyemangatimu setiap waktu, namun kamu harus mengerti dari keadaan di keluarga kita Allah selalu menguatkanmu dan juga menjagamu. Ibu ikhlas kalau kamu mengambil pilihan setelah lulus untuk mengabdi di pondok, dua bulan lagi ibu akan bekerja lagi di luar negeri. Tugasmu hanya mendoakan ibu, belajar. Selagi ibu mampu membiayaimu sampai jenjang yang lebih tinggi, kamu jangan seperti ibu, kamu harus melebihi ibu. Carilah ilmu sampai akhir hayatmu. Allah akan memberi jalan orang yang mencari ilmu agama, pesan ibu walaupun kamu tidak didampingi orang tuamu tetaplah tabah dan ikhlas. Kamu bisa berkhidmah untuk Kyaimu lewat gurulah kamu tanamkan rasa khidmahmu, semoga Syaqila menjadi anak sholehah, manfaat buat orang lain, nggak boleh sedih terus semangat!!!

    Aku benar-benar kaget ternyata ibu punya tujuan yang lain, terima kasih ibu selama ini kau selalu membimbingku, selama ini aku berprasangka denganmu. Aku sangat jahat menilai orang tuaku sendiri dengan sifat-sifat yang kotor. Aku janji aku akan berusaha semampuku untuk berkhidmah di pondok, kau bagaikan mutiaraku akan tetap bercahaya di kehidupanku.

    Dan aku teringat sebuah hadis tentang pentingnya berbuat baik tiga kali lebih besar kepada ibu dibanding bapak.
    “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW, dan berkata, “wahai Rasulullah, kepada siapakah aku berbakti pertama kali?. Nabi SAW menjawab, ‘ibumu. Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?, nabi menjawab ‘ibumu. Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?. Nabi menjawab ‘ibumu’. Orang tersebut bertanya lagi. ’kemudian siapa lagi’. Nabi menjawab ‘kemudian ayahmu”.

    END

    Silma Wafia adalah Mahasiswi Asal Kendal

     

    Sumber : cerpenmu.com dengan beberapa moderasi