BLANTERORBITv102

    Pemuda dan Semangat Al-Maun di Era Disrupsi

    Selasa, 06 Juli 2021

     


    Setiap zaman punya tantangannya sendiri. Setiap zaman punya kegilaannya sendiri. Dibutuhkan kegilaan-kegilaan untuk mampu terbebas dari jebakan zaman. Pada rentang masa perjalanan kehidupan manusia, memang tak ayal kita hadapi berbagai perubahan yang kadang mengagetkan dan spektakuler. Di masa-masa seperti sekarang ini, kita merasakan kehadiran teknologi digital begitu merangsek dalam setiap sendi lini kehidupan kita. Bagaimana sikap kita? Abai, cuai, bersikap bodo amat, atau sepenuhnya acuh dan mencoba menggali makna zaman dan hidup berdampingan segala hal baru.

    Pilihan-pilihan semacam itu kerap hadir dalam alam pikiran kita. Dibutuhkan kearifan diri dan kecermatan untuk bisa mengambil keputusan dan langkah-langkah strategis. Pasalnya, di era digital ini memang kita tak lagi bisa memusuhi kehadiran teknologi dan berbagai perkembangannya. Apalagi, bersikap alergi dan menafikan berbagai manfaat dari kehadiran tools tersebut. Yang bisa kita lakukan adalah mencoba menyeimbangkan kehadiran perangkat teknologi dengan kapasitas diri. Ya, menguatkan jati diri kemanusiaan kita.

    Mengapa demikian? Kerap kali tawaran kemajuan teknologi hadir dengan berbagai hal yang sifatnya praktis, mudah, dan memanjakan kita. Bahkan, dalam konteks paling privasi sekalipun, kita masih dimanjakan oleh gadget, internet, dan buah kemajuan teknologi lainnya hingga akhirnya kita terlena dan mengikuti arus belaka. Sehingga, dalam lagu Iwan Fals disinggung dengan lirik, “Otakku kutitipkan di situ, jadi malas mengingat, malas belajar.” Potongan lirik lagi Dajjalnet itu betul-betul menyentak kita yang hidup di era komputasi awan seperti sekarang ini, di mana kita mendapat begitu banyak suguhan informasi dengan sekali klik atau dengan hanya mengucap “OK Google”.

    Kondisi yang demikian tentu berpengaruh signifikan bagi kehidupan masyarakat kita. Tak kecuali juga para pemuda yang sedianya mampu memberikan tawaran-tawaran terhadap zaman. Semua mengalami degradasi identitas, bahkan lebih parah degradasi moral dan keruntuhan kemanusiaan. Tak sedikit yang kemudian menjadi manusia individualis, mekanis, yang menjalani kehidupan bagai mesin, hingga mencari untung sendiri. Ya, teknologi bisa mendegradasi kemanusiaan kita. Itulah masalahnya. Kepedulian sosial, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, kepekaan sosial, dan segala hal menyangkut kemanusiaan menjadi diksi paling rumit untuk dicari.

    Konteks Zaman

    Di masa-masa seperti inilah, perlu kita rumuskan sebuah formula baru untuk menjembatani kesenjangan-kesenjangan itu. Rasa kepedulian sosial, yang notabene merupakan pancaran dari nilai-nilai Ilahiah, tak bisa kita tanggalkan begitu saja. Karena itu adalah akar tunggang yang membuat kita mampu melakukan perubahan di tengah kehidupan masyarakat. Sepenuhnya, upaya-upaya menumbuhkan rasa solidaritas dan kemanusiaan itu perlu kita tempuh, sebagaimanapun terjalnya jalan yang mesti dilalui. Memang benar, di era ini kita mesti melek digital, paham bagaimana mengoperasikan dan menggunakan perangkat teknologi agar tak dituduh ketinggalan zaman. Namun, melek digital sejatinya bukan cuma bicara soal kemampuan mengoperasikan perangkat yang bermakna teknikal.

    Konotasi melek digital perlu kita kembangkan pada pemahaman bahwa kita bisa membawa misi-misi kemanusiaan, dakwah filantropi, dan upaya-upaya memunculkan diskursus yang mengarah pada penguatan jati diri manusia di tengah perkembangan dan kemajuan perangkat digital. Karena melek digital, menurut Jones dan Hafner (Mauludi: 2016), juga bermakna kemampuan menggunakan alat-alat atau perangkat digital untuk melakukan sesuatu dalam konteks kehidupan sosial. Dengan ungkapan lain, melek digital menjadi jalan kita menghadirkan perubahan sosial dengan cara-cara dan pemanfaatan perangkat digital, seperti gadget, internet, komputasi awan, AI, dan sebagainya. Tapi, apakah itu mungkin?

    Semangat Al-Maun

    Pemuda adalah tulang punggung peradaban. Pemuda Muslim mengemban tugas berat menghidupkan cahaya api Islam dalam kehidupan. Pemuda dengan segala daya dan upayanya, tak bisa lepas dari peran sebagai pendobrak sejarah. Dalam konteks kebangsaan, pemuda selalu memiliki peran terdepan. Para founding fathers dan founding mothers bangsa ini telah berjuang sedari usia muda. Mulai dari mengasah pikiran, menguatkan siasat, hingga perjuangan dengan membawa nama besar bangsa Indonesia. Ghirah kaum muda berkobar membawa semangat kemerdekaan, semangat pembebasan, dan semangat perlawanan. Hal itulah yang membawa kita semua ke depan pintu gerbang kemerdekaan.

    Tugas kita sebagai pemuda hari ini adalah mencoba agar pintu gerbang itu betul-betul terbuka, dan kemerdekaan menjadi suatu hal yang benar-benar nyata. Kuntowijoyo, seorang cendekiawan Muslim yang juga sejarawan dan sastrawan terkemuka, pernah mengungkapkan bahwa harapan umat Muslim berada di tangan para pemuda yang merupakan intelektual pembaharu. Mereka, kata Kunto, tersebar di berbagai tempat, mulai dari LSM, ormas, komunitas, dan kampus-kampus. Harapan umat Muslim sedianya ada di tangan para pemuda ini. Para pemuda tak henti berpikir dan berzikir sambil terus menginisiasi dan memelopori berbagai tawaran-tawaran taktis dalam menghadapi problem zaman.

    Salah satu semangat yang pula mesti kita pupuk adalah semangat kekitaan. Indonesia menurut para ahli akan menghadapi bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan. Tapi, bisa kita bayangkan, bila angka demografi yang melejit itu tidak dibarengi dengan semangat kekitaan dan kesetiakawanan sosial, yang ada hanyalah bencana demografi. Bencana kemanusiaan yang nyata. Sebab itulah agenda gerakan kaum muda hari ini tidak boleh lepas dari upaya penyemaian sifat welas asih dan budaya kekitaan yang mengakar, karena itu merupakan modal besar bagi kita untuk bisa turut membangun peradaban.

    Dalam konteks apa pun, karakter kekitaan yang tecermin dalam sikap kesetiakawanan sosial, menjadi poin penting. Bahkan, dalam surah Al-Maun, kita diperintahkan untuk senantiasa membantu sesama manusia. Membantu dengan segala daya dan upaya yang kita punya. Membantu meringankan beban mereka, saudara kita yang membutuhkan. Membantu mereka yang papa. Menolong mereka yang didera kesulitan. Dan percayalah, menolong orang lain sejatinya adalah menolong diri kita sendiri. 

    Sumber: https://www.gagas.id/2021/06/pemuda-dan-semangat-al-maun-di-era-disrupsi.html