BLANTERORBITv102

    Bekerja dengan Rasa Syukur

    Jumat, 16 Juli 2021

    Ilustrasi Bekerja || Sumber : Pixabay.com


    Penadigital.id - Sudah lewat jam 4 pagi, terdengar sayup-sayup suara orang mengaji, sepertinya dari kaset karena terdengar sama setiap hari dari masjid dekat rumah, berkumandang menyambut datangnya subuh. Hendra bangun bersiap untuk salat dan melakukan ritual-ritual lainnya sebelum berangkat bekerja.

    Hendra baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai seorang yang bertanggung jawab di bidang pelatihan di sebuah resort di bagian barat Indonesia akibat Covid-19. Dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, dan bekerja sebagai guru bahasa Inggris freelance menjadi pilihannya untuk tetap mendapatkan penghasilan

    Sekarang Hendra memiliki dua orang murid yang belajar secara offline di kantor instansi pemerintah yang terletak di pusat Jakarta. Kelas dimulai pukul 7 dari hari Senin sampai Kamis (kelas privat ini sudah berjalan hampir dua bulan). Oleh karenanya, Hendra harus berangkat dari rumah setidaknya jam 6 supaya bisa sampai sebelum jam 7 sambil menikmati perjalanan dan tidak terburu-buru.

    Namun, ada saja yang membuatnya sedikit dongkol setiap kali masuk ke gedung instansi tersebut: laporan ke keamanan gedung.

    Melapor ke security adalah rutinitas yang wajib ia lakoni setiap kali seseorang hendak bertamu ke gedung instansi tersebut. Tatatapan sinis, dahi mengernyit, suara yang dibesar-besarkan dan diberat-beratkan adalah hal-hal yang biasa Hendra hadapi setiap kali datang, seakan-akan hal-hal itu sudah menjadi SOP bagi personel keamanan.

    “Mau ke mana? Keperluannya apa?” adalah pertanyaan yang ia tanyakan berulang-ulang dan selalu mendapatkan jawaban yang sama, “Mohon ijin, Pak. Saya mau mengajar privat bahasa Inggris Bapak A dan Ibu B di Gedung X lantai 10.” Sambil menjawab, Hendra menunduk-nundukkan kepalanya supaya terlihat lebih sopan.

    Akan tetapi, bahasa tubuh yang Hendra buat malah membuat si personel keamanan ini makin memberatkan dan menegaskan suaranya, “Jam segini tamu belum boleh masuk. Nanti setengah 8! Bapak tunggu di resepsionis untuk tukar KTP dengan kartu akses untuk tamu.”

    ***

    Akhirnya Hendra pun terpaksa menunggu, jika tidak, murid privatnya menjemput ke bawah. Pada saat menunggu, ia juga melihat beberapa tamu yang lalu lalang di area gedung itu. Ada sebuah mobil mewah berhenti di lobi gedung dan security yang sama membukakan pintu sambil membungkukkan badannya sedangkan Hendra masuk ke area gedung dengan berjalan kaki karena kendaraan roda duanya tidak boleh parkir di area instansi pemerintahan itu.

     

    Percakapan dan pemandangan di atas itu hampir selalu terjadi setiap kali dia datang untuk bekerja sebagai pengajar di sana. Hendra merasa seperti diinterogasi, diremehkan, dan dicurigai.

    Dengan latar belakangnya sebagai seorang trainer di industri hospitality, ia sering kali membandingkan perlakuan seorang security. Dia pernah mendesain dan memberikan beberapa program pelatihan ke tim security. Sebagai seorang security yang bertugas menghadapi tamu, siapapun itu tamunya, dari tamu yang akan menginap di resort, kurir yang mengantar paket, orang minta sumbangan, sampai dengan tamu yang hanya datang di gerbang dan menitipkan surat lamaran untuk HRD, dia harus bersikap yang sama karena dia sadar bahwa dia mewakili wajah perusahaan tersebut.

    Sungguh sangat disayangkan ketika seorang tamu yang diundang berjalan kaki masuk, melapor dengan sopan ke gedung pemerintahan, diperlakukan seperti seorang residivis. Hendra acap kali menggerutu dalam hati ketika mendapati kenyataan yang sama berulang-ulang.

    Namun, tidak semua personel keamanan yang bertugas di gedung itu berperangai sama. Banyak juga yang sangat membantu dan santun dalam berinteraksi sehingga membuat tamu merasa aman dan nyaman ketika datang bertamu. “Itulah pentingnya kehadiran sebuah SOP. Supaya mereka bisa lebih seragam dalam bersikap. Ini kantor pelayan. Coba lihat security di bank! Security harusnya ya seperti itulah!” Gerutunya lagi sambil mengingat pengalamannya pergi ke bank dengan penampilan yang biasa saja, tetapi mendapatkan bantuan yang sangat baik dari personel keamanan di salah satu bank swasta itu.

    ***

    Apel selesai, para personel kembali ke pos tugas masing-masing dan Hendra pun akhirnya berhasil mendapatkan akses ke lantai yang ia tuju dengan cara menukarkan KTP-nya dengan kartu akses untuk tamu.

    Ia berjalan memasuki gedung,  dan melihat sebuah portal elektronik yang hanya bisa seseorang akses jika bekerja di gedung tersebut. Alhasil, Hendra harus menunggu seorang karyawan yang lewat dan memintanya untuk membukakan portal dengan menggunakan kartu karyawannya. “Saya kira kartu ini bisa untuk akses ke lantai yang saya tuju. Drama apalagi ini?” Gerutu Hendra sambil memencet tombol lantai 10 di dalam elevator.

     

    Sampai di lantai 10, dia lapor lagi ke security dan Hendra diminta untuk menunggu karena muridnya belum hadir.  Hendra Pun berinisiatif untuk mengirimkan pesan melalui Whatsapp ke muridnya untuk mengabari bahwa Hendra sudah datang dan siap belajar bersama-sama.

    Menit-menit pertama menunggu ia habiskan dengan kembali membaca materi yang akan ia bahas hari itu. Setengah jam kemudian si murid belum juga kelihatan. Jam 8 lewat sepuluh menit, notifikasi Whatsapp muncul, “Aduh, Mas, maaf. Saya lupa hari ini ada acara keluarga. Kita belajar minggu depan ya.”

    ***

    Hendra bergegas untuk pulang. Pikirannya tak berhenti menggerutu. Hendra biasa pulang sekitar jam 9 dari parkiran gedung tetangga. Setengah perjalanan pulang ia habiskan dengan tenggelam dalam gerutu pikirannya. Setengah perjalanannya lagi ia coba habiskan dengan memfokuskan pikirannya terhadap hal-hal yang wajib dan patut untuk disyukuri.

    Ia menyadari ada ribuan orang lebih yang dirumahkan atau bahkan di-PHK secara sepihak karena Covid-19. Banyak di antaranya yang masih berjuang untuk mencari makan karena tidak mempunyai penghasilan. Tidak sedikit juga yang sudah melamar ribuan pekerjaan namun panggilan tidak kunjung datang. Dibandingkan mereka-mereka itu, dijutekin seorang personel keamanan dan “dikerjai” murid hanyalah problem yang ecek-ecek.

    Hendra masih berbadan sehat sehingga bisa menjemput rezekinya melalui mengajar dan menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang yang ia temui dari Senin sampai Kamis walaupun di antara orang yang ia temui ada yang bersikap kurang enak di hati. Hal itu tidak membatalkan fakta bahwa ia mempunyai kesempatan bersilaturahmi dengan banyak orang.

    “Alhamdulillah, saya masih bisa mencari dan mendapatkan pemasukan halal yang dapat dinikmati orang rumah. Juga bisa berbagi ilmu yang, yah, moga-moga bermanfaat bagi murid-murid privat saya.” Kata-kata tersebut menjadi mantra yang dipakai oleh Hendra untuk menghilangkan gerutu dan memperbanyak syukur.

     

    Sesampainya di rumah, Hendra disambut dengan tawa anak kecil berumur 22 bulan. Anak itu berlari menghampirinya. “Nak, tunggu dulu ya, Bapak mandi dulu.” Katanya sambil bergegas untuk mandi. Selesai mandi, Hendra berlari ke bawah dan menemui anaknya yang juga sudah tidak sabar untuk bermain dengan bapaknya. “Ah, Alhamdulillah,” ucapnya.


    Penulis : Mahendra Bimasakti


    Sumber : rahma.id