Eco Bhinneka Muhammadiyah dan Greenfaith Belajar Merawat Bumi Melalui Rumah Ibadah
Rabu, 05 Juni 2024
Dokumentasi: GreenFaith Indonesia
Dalam rangkaian Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2024, GreenFaith Indonesia melaksanakan kegiatan Tur Rumah Ibadah dengan berkunjung dan berdialog ke Rumah Ibadah enam agama di Indonesia. Tur ini bertujuan untuk menghadirkan model dan inovasi bagaimana agama-agama di Indonesia berkontribusi dalam krisis iklim dengan aksi nyata.
“Rumah ibadah merupakan potret sebuah agama yang di dalamnya bukan hanya digunakan sebagai rumah untuk berkomunikasi dengan Tuhan dengan ritual ibadah, namun juga sebagai pusat atau sumber pengetahuan serta contoh baik dari aksi agama dalam melaksanakan perintah Tuhan”, tutur Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia. Melalui Tur Rumah Ibadah ini, Hening berharap, para peserta dapat saling bertukar pengetahuan tentang bagaimana agama mengajarkan mencintai lingkungan dan memuliakan bumi, serta memberikan pengetahuan untuk umatnya melakukan tindakan menyelamatkan bumi.
Merespon krisis iklim saat ini, GreenFaith Indonesia sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang lingkungan dan bekerja sama dengan lintas agama dan kepercayaan melakukan berbagai kegiatan dengan merujuk pada nilai-nilai dan perintah agama sebagai upaya untuk menjaga dan merawat lingkungan. Nilai-nilai yang terkandung pada ayat-ayat di dalam kitab suci bukan untuk sekedar bacaan dengan lantunan indah tapi harus dimaknai dan diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari – hari.
Kegiatan Tur Rumah Ibadah dilaksanakan selama 2 hari pada Sabtu-Minggu, 8-9 Juni 2024. Hari pertama lokasi kunjungan Tur ini, dimulai dari kunjungan ke Pura Adhitya Jaya - Rawamangun, kemudian ke GIPB Paulus – Taman Sunda Kelapa, dan diakhiri dengan kunjungan ke Yayasan Buddha Tzu Chi – Pantai Indah Kapuk. Hari kedua, rute Tur dimulai dari kunjungan ke Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Menteng Raya, kemudian ke Masjid Istiqlal – Jakarta Pusat, kemudian ditutup dengan doa bersama di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin – Jakarta Selatan.
Pinandita Pengayah Pura Adhitya Jaya, I Gde Wiyadnya, mengatakan bagi umat Hindu, alam semesta adalah refleksi manusia itu sendiri. “Semua yang ada di alam semesta terdiri dari 5 elemen atau kami sebut Panca Mahabhuta, yakni elemen pertiwi, udara, cairan, ruang, dan panas. Kalau kelima elemen tersebut di alam semesta ada yang terganggu maka akan berpengaruh ke diri kita, begitu pun sebaliknya,” ungkapnya. Untuk menjaga keseimbangan elemen Panca Mahabhuta, urai Gde, dibutuhkan Tri Hita Karana, di mana manusia perlu menjaga hubungan baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam.
Tri Hita Karana kemudian diadopsi ketika membangun rumah ibadah. “Kita menjaga tempat ibadah kita sebisa mungkin mendekati alam semesta. Oleh sebab itu bangunan Pura terbuka, kita tanam pohon, dan umumnya memiliki sumber air,” imbuhnya. Bangunan Pura, jelas Gde, terdiri dari 3 zona, Nista atau teras yang berada di luar, Madya atau ruang tengah, dan Utama atau ruang khusus peribadatan. Selain difungsikan secara vertikal, atau hanya untuk peribadatan kepada Tuhan, Pura juga dapat berfungsi secara horizontal atau untuk kegiatan sosial antar sesama, “Seperti kunjungan GreenFaith saat ini kita menggunakan Pura di zona bagian madya,” terangnya.
Di GPIB Paulus, Rommi Matheos selaku Pendeta GPIB Paulus, menjelaskan iman Kristen meyakini bahwa dunia ini adalah ciptaan Tuhan, yang diciptakan selama 6 hari, di mana hari ke 7 manusia diminta untuk istirahat, atau tidak bekerja atau disebut dengan hari Sabat. “Tuhan ingin supaya manusia tidak hanya bekerja tetapi juga harus mengistirahatkan diri dan memperhatikan bumi, di sinilah tumbuh kesadaran untuk kita menyelamatkan lingkungan,” ungkapnya. Terkait konsep ajaran keselamatan itu sendiri, lanjut Pendeta Mattheos, Tuhan memerintahkan upaya memelihara ciptaanNya, adalah untuk keselamatan dunia dan alam.
Sebagai langkah nyata dari ajaran Iman Kristen, Gereja GPIB Paulus menjalankan program layanan Gerakan Masyarakat dan Lingkungan atau Germasa sebagaimana diputuskan di persidangan Sinode yang diselenggarakan tiap tahun. “Di GPIB Paulus kami ketika beribadah sudah tidak lagi pakai kertas, namun mulai paperless, dan kami sediakan tempat sampah pilah agar jemaat mampu memilah sampah sesuai jenisnya,” ungkap Pendeta Mattheos.
Di Gedung Yayasan Buddha Tzu Chi, Juny Leong Min Wu, Relawan insan Buddha Tzu Chi, menceritakan sejarah, nilai ajaran, serta kiprah Madzhab Tzu Chi di Indonesia dalam bidang pendidikan, sosial, kemanusiaan, hingga lingkungan hidup. Tokoh penggerak Madzhab Tzu Chi yakni Master Cheng Yen, merupakan seorang Bhikkhuni atau pemimpin agama Buddha perempuan asal Taiwan. Inspirasi ‘Hidup berdampingan dengan bumi’ menjadi nilai ajaran Master Cheng Yen terkait pelestarian lingkungan.
Sudah sejak 1990, insan Tzu Chi melakukan pemilahan dan mengelola sampah menjadi barang berguna. “Mengubah sampah menjadi emas, dan emas menjadi cinta kasih, adalah semangat yang diajarkan Master Cheng Yen,” kata Juny. Persoalan sampah harus diatasi bersama dan menjadi tanggung jawab setiap orang dan relawan Tzu Chi aktif aktif mengedukasi masyarakat untuk melakukan pemilahan sampah dan daur ulang di Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan Tzu Chi.
Di hari kedua kegiatan Tur Rumah Ibadah, peserta belajar tentang aksi nyata mewujudkan keadilan iklim lewat energi terbarukan di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sudah menggunakan solar atap sebagai sumber energi alternatifnya. “Langkah nyata ini mampu mengurangi biaya pemakaian listrik dari fosil. Jika solar panelnya berfungsi secara maksimal, biaya pengeluaran listrik per bulannya bisa lebih hemat Rp 15 juta, dari yang biasanya lebih dari Rp 40 juta per bulan,” ungkap Hening, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Gerakan Muhammadiyah dilandasi oleh spirit Al Maun termasuk dalam gerakan melestarikan lingkungan. “Al Maun adalah salah satu surat di dalam Al Quran yang menjadi spirit gerakan Muhammadiyah untuk memperhatikan dan menyantuni saudara-saudara kita yang fakir, miskin, dan yatim. Kini berkembang menjadi ‘Green Al Maun’, di mana Muhammadiyah melihat fakir, miskin, dan yatim akibat terdampak krisis iklim,” kata Hening. Muhammadiyah memiliki Majelis Lingkungan Hidup sejak 18 tahun lalu, dengan harapan Muhammadiyah berkontribusi menyadarkan umatnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Tidak hanya solar atap, gedung ini juga memiliki saluran pengelolaan air limbah yang digunakan kembali untuk menyiram tanaman dan kendaraan.
Pengetahuan tentang energi peserta semakin bertambah dari kunjungan ke Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini dilengkapi dengan solar atap berkekuatan lebih dari 15 kilowatt peak yang memasok 16% kebutuhan listrik masjid. Pemanfaatan solar atap di gedung Masjid Istiqlal ini sudah berlangsung sejak 2019 lalu dengan sistem on grid atau terhubung dengan saluran listrik dari PLN. Saparwadi, Kepala Humas dan Protokol Badan Pengelola Masjid Istiqlal menyampaikan bahwa pada tahun 2022, Masjid Istiqlal telah mendapatkan penghargaan Green Mosque pertama di dunia dari International Finance Corporation (IFC). “Bangunan Masjid Istiqlal Jakarta yang memiliki luas 4 hektar dan tanah 9,6 hektar ini, kini sudah menggunakan 504 solar panel yang alhamdulillah telah membantu menghemat anggaran hingga 100 juta rupiah dari total rata-rata 200 juta rupiah perbulannya,” ungkap Saparwadi.
Selain pemanfaatan energi matahari, Masjid Istiqlal juga melakukan konservasi air dengan cara menghemat jumlah debit air wudhu yang keluar dan mengolahnya kembali untuk digunakan menyiram pohon dan tanaman di area masjid.
Dari Masjid Istiqlal, peserta bertemu Romo Pandita Mettiko, di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin / Wihara Amarvabhumi. Klenteng yang sudah berusia lebih dari 100 tahun ini bertahan di tengah gedung-gedung pencakar langit di tengah kota Jakarta. Sebuah bukti nyata bagaimana kehidupan duniawi harus diimbangi hubungan manusia dengan Tian / Tuhan dan alam sekitar yang terus menerus berubah.
“Manusia yang memelihara bumi, ia menyediakan jalan ke surga. Lingkungan yang bersih dan lestari akan nyaman ditinggali bagi semua, namun jika rusak maka kita semua terkena dampaknya,“ ungkap Romo Pandita Mettiko. “Kalau kita tidak bersaudara dalam iman, kita masih bisa bersaudara dalam kemanusiaan, mari bersama-sama kita rawat lingkungan hidup kita,” imbuhnya.
Toleransi umat beragama di Indonesia tidak cukup hanya dipelajari melalui buku dan dialog panjang di media, tetapi pengalaman belajar langsung dalam rumah ibadah tentang iklim menjadi salah satu kunci mempererat umat lintas agama. Krisis iklim tidak mengenal perbedaan agama, karena itulah tanggung jawab untuk mencegah semakin buruknya dampak, menjadi milik semua umat.
GreenFaith Indonesia, sebagai organisasi nirlaba internasional bekerja dengan kelompok multi agama dengan fokus pada pendidikan tentang keadilan iklim dari perspektif agama berbeda dan melakukan kampanye agar umat melakukan aksi nyata merawat alam.
0 comments