Ilustrasi Media Belajar Masa Kini || Sumber : Pixabay.com |
Oleh : Lana Fauzia Zamzamy
Penadigital.id - Dalam
sebuah perjalanan, aku bersama beberapa teman saling bercerita. Mulai dari
persoalan remeh-temeh, hingga permasalahan yang agak serius, yang sedang
terjadi di negeri ini. Seperti persoalan agama, politik, hingga praktik politik
praktis yang berlindung di balik topeng agama yang sebagian kita maknai secara
normatif. Di tengah perbincangan yang sedang asyik, salah satu teman
mengungkapkan keinginannya. Ia mengatakan, suatu hari nanti setelah ia belajar
agama Islam dengan benar dan lengkap, ia akan mengenakan hijab. Saat ini ia
belum mengenakan hijab karena merasa masih belum cukup ilmu agamanya.
Cepat kemudian aku bertanya, “Kalau boleh tahu, gimana caramu belajar
tentang agama Islam selama ini?” Dengan nada yang meyakinkan
ia menjawab, “Aku belajar lewat
Internet, dong! Aku bisa belajar, tinggal cari apa yang aku ingin ketahui.
Klik, muncul semua penjelasan.” Aku bersama teman lainnya
tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan penjelasannya.
Jawaban temanku tersebut membuatku
berpikir kembali, tentang bagaimana cara manusia sekarang mendapatkan informasi
dan pengetahuan. Lebih banyak berasal dari satu pintu utama bernama internet. Di zaman
sekarang, siapa sih yang
enggak kenal Internet? Hanya imajinasi yang mampu membatasi pengetahuan yang
bersumber dari sini. Internet menyediakan semua platform untuk segala pengetahuan bagi seuruh
kalangan.
***
Hal
ini mengingatkanku pada nasihat seseorang, jauh beberapa tahun yang lalu. Ia
pernah mengatakan kepada aku bahwa betapa makin homogennya kepala manusia
nanti. Seluruh informasi dan pengetahuan yang manusia miliki hanya akan
diberikan dan diperoleh dari satu mesin memori bernama internet. Fenomena ini
juga berlaku pada pola interaksi manusia dalam aspek kehidupan beragama.
Masyarakat digital menuntut adanya
penyederhanaan dari keragaman penafsiran hasil ijtihad alim ulama terdahulu. Tujuannya agar lebih mudah
dipahami dan dikonsumsi oleh masyarakat digital. Penyederhanaan ini ditunjukkan
dalam bentuk jawaban hitam atau putih, sah atau batal, halal atau haram, serta
polarisasi dua jawaban lainnya. Bahkan pilihan lain seperti makruh dan mubah
saja mulai terabaikan sebagai alternatif jawaban.
Jawaban
atas pertanyaan seputar agama tersebut tersedia dalam banyak situs website.
Bahkan desain kemasannya sangat menarik dan kekinian. Lalu tersedia dalam
berbagai platform yang
selalu update secara
intensif melalui media sosial. Sementara cara mendapatkan jawaban secara
tradisional, sudah masyarakat digital anggap membosankan dan perlahan mulai
mereka tinggalkan.
Mengkaji kitab-kitab tafsir memakan waktu
terlalu lama. Tidak pernah ada waktu untuk sekadar bertemu dengan kiai untuk
bertanya persoalan agama secara langsung. Apalagi kitab turots dengan volume
berjilid-jilid, yang butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk bisa menyelesaikannya.
Proses panjang dalam menggali ilmu-ilmu keislaman tersebut dapat secara singkat
masyarakat memperolehnya dengan adanya internet. Meskipun kebenarannya masih
memerlukan verifikasi lebih dalam.
***
Ketika
tiba-tiba ada keributan yang pecah mengenai tema-tema kontroversial, justru
akan muncul pelabelan di antara masyarakat. Meskipun pada dasarnya, keributan
itu sendiri tidak terlalu penting untuk diikuti. Tema yang sempat menjadi
perdebatan panjang di media sosial ialah adanya konsep Islam Nusantara.
Kalangan
yang menentang adanya konsep Islam Nusantara beranggapan bahwa Islam hanya
satu. Islamnya Nabi Muhammad yang turun di Arab. Jika sudah seperti ini maka
akan muncul labelisasi dari kelompok lain. Mereka akan mendapat label sebagai
kelompok radikal dan tidak punya rasa nasionalis.
Sementara kalau ada yang menjawab bahwa
Islam Nusantara itu ada, mereka akan beralasan bahwa Islam Nusantara menjadi
bentuk ekspresi Islam di Indonesia. Mereka akan mendapat stigma sebagai ulama
liberal, syirik, hingga kafir. Perdebatan semacam ini bahkan telah masuk dalam
ranah politik animalia. Panggilan cebong dan kampret masuk dalam objek
kajian agama.
Proses pembelajaran beragama terus
terseret dalam ruang-ruang yang tidak lagi bertujuan untuk mendapatkan
‘jawaban’. Melainkan telah diarahkan untuk membentuk ‘diskursus’ politik atau
ideologi kelompok tertentu. Oleh karena itu, Islam moderat berusaha untuk mengembalikan
kembali ghirah beragama
dalam konteks masyarakat digital ini.
***
Moderasi Islam memiliki peran agar seorang muslim mampu
menempatkan segala sesuatu secara moderat. Untuk menjadi moderat harus
mengetahui keberagaman dan alternatif jawaban dari setiap pertanyaan tentang
keislaman. Hal itu sangat penting karena sebagai barometer untuk mengetahui
seberapa banyak titik moderatnya. Sebab setiap ulama memiliki prioritas dalam
mempertimbangkan jawaban dari setiap pertanyaan. Entah itu pertimbangan maslahah atau penggunaan
dalil.
Dalam
salah satu tulisan Gus Dur, beliau sangat memahami fungsi “Kiai Kampung”.
Mereka adalah para santri yang belajar bertahun-tahun. Memahami pertanyaan dari
masyarakat sekitarnya tidak hanya berdasarkan pengalaman berdialog dengan
kitab-kitab. Tetapi juga mampu memberi konteks dan memenuhi kebutuhan atas
jawaban agar tetap memiliki payung hukum Islam. Namun, tradisi itu tidak lagi
efektif dalam membumikan Islam Moderat.
Bentuk komunikasi antar personal yang
berpindah dari sesuatu yang ‘nyata’ menjadi citra yang ‘maya’, juga mengubah
bagaimana tradisi ‘belajar’ dan ‘bertanya’. Hal ini menjadikan penjelasan yang
kompleks harus disederhanakan. Faktor konteks dan metodologi istimbath tidak lagi menjadi
pertimbangan. Justru keragaman jawaban sebagian masyarakat anggap menjadi
penghambat pemahaman karena mereka rasa sangat memusingkan.
Akibatnya kebanyakan konten bermuatan
agama di media sosial memungkinkan adanya hubungan egaliter dalam
berkomunikasi. Berbeda dengan pengajian tradisional yang lebih mengedepankan
nilai-nilai karismatik dan unggah-ungguh.
Proses untuk mendapatkan kebenaran dari setiap pertanyaan bukan menjadi tujuan
akhir dalam bentuk komunikasi yang egaliter ini.
***
Selain
itu kebenaran bukan dilihat sebagai proses belajar, tetapi bagaimana objektivitas
dan rasionalitas membiarkan emosi memihak pada keyakinan tertentu. Masyarakat
akan dengan mudah berdebat dengan logika apa
pun untuk memaksakan kebenaran dalam versinya. Tidak ada penghormatan
terhadap ilmu pengetahuan, termasuk upaya untuk mengklarifikasi informasi,
serta tidak tercermin kan keberagaman dalam kebenaran.
Emosi mengalahkan fakta objektif.
Sehingga proses belajar bukan lagi tentang cara dalam memperoleh jawaban yang
benar. Melainkan telah beralih menjadi hasil akhir berupa betapa menyenangkannya
sebuah jawaban. Tantangan ini berlaku bagi siapa pun yang mau belajar. Tanggung
jawab untuk memahami dan menularkan proses dalam beragama yang variatif menjadi
lebih besar.
Visi pendidikan yang menuntut agar
memiliki output yang
tidak hanya berilmu tetapi juga beriman dan bertakwa diharapkan menjadi wujud
gerakan baru dari Islam moderat. Juga diharapkan menjadi dasar pembelajaran
keislaman, baik untuk Anda sendiri maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Lana Fauzia Zamzamy adalah seorang pelajar asal
Jawa Tengah
Sumber : rahma.id
0 comments